Pendidikan

Sekolah Ayah Seimbangkan Pendidikan Keluarga

438views

Bdgtoday.com/ BANDUNG-Peran pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab seorang perempuan, tetapi juga laki-laki. Baik ibu maupun ayah sama-sama harus menjalankan perannya secara optimal agar anak tumbuh menjadi pribadi yang berkualitas.

Wali Kota Bandung, Oded M. Danial mengungkapkan itu saat soft launching Sekolah Ayah di Gedung Graha Binangkit, Jalan Sukabumi No. 30 Bandung, Senin (24/2/2020). Menurutnya, ayah menjadi sosok yang dapat memperkuat ketahanan keluarga.

“Selama ini pengasuhan banyak dibebankan ke ibu. Ibu bertanggung jawab pada masa-masa penting anak. Padahal ayah juga punya tanggung jawab dalam hal pola asuh,” tutur Oded.

Oleh karena itu, Pemerintah Kota Bandung menggagas Sekolah Ayah sebagai jawaban untuk menyeimbangkan peran ibu dan ayah di dalam keluarga. Sekolah tersebut akan mengoptimalkan fungsi kepala keluarga di dalam pola asuh anak sehingga memperkuat karakter positif anak.

Oded percaya, kualitas sumber daya manusia sebuah negara ditentukan dari kekuatan dan ketahanan keluarga, sebagai unit terkecil di masyarakat. Dari keluarga yang bahagia akan lahir bangsa yang unggul, berkualitas, dan mampu menjawab tantangan bonus demografi tahun 2030.

“Dalam rangka implementasi dari visi Mang Oded dan Kang Yana yaitu visi unggul, maka saya berharap di Bandung ini dimulai dari bagaimana edukasi penguatan dari keluarga. Ketika partikel sosial terkecil yang disebut keluarga ini berkualitas, maka diharapkan insyaallah Bandung akan dihuni oleh SDM yang berkualitas,” katanya.

Hal senada diungkapkan Ketua Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Kota Bandung, Siti Muntamah Oded. Ia ingin agar Sekolah Ayah yang lahir dari Bandung menjadi katalisator pembangunan sumber daya unggul untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.

“Kota bandung ini senter dari Jawa Barat, Jawa Barat ini senter dari Indonesia. Kita ingin bawa inspirasi itu untuk memenuhi visi misi Pak Wali, yaitu menghadirkan masyarakat unggul diawali dari keluarga berkualitas,” ujar Siti.

Pasalnya, Konferensi Ayah Sedunia menempatkan Indonesia ke dalam kelompok “fatherless country”, yakni negara dengan peran ayah dalam keluarga yang sangat minim. Menurut penelitian tersebut, negara dengan kebiasaan ayah berkomunikasi dengan anak kurang dari 6 jam dalam sehari tergolong ke dalam “fatherless country.”

“Dikatakan sebagai fatherless country ketika komunikasi ayah dan anak kurang dari 6 jam. Dan Indonesia, jangankan 6 jam, 1 jam saja kita menemukan sulit. Apa saja indikatornya? Agresi, depresi, narkoba, itu tinggi,” ungkap Siti.

Menurutnya, kunci dari pembentukan karakter positif anak hadir di dalam komunikasi yang baik antara ayah, ibu, dan anak. Ketika anak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup dari orang tuanya, anak cenderung dapat terhindar dari perilaku agresif, depresi, penyalahgunaan narkoba, hingga penyimpangan seksual.

Siti menjabarkan, ada masa-masa penting dalam tumbuh kembang anak di mana peran ayah dan ibu amat penting. Di usia 0-7 tahun, peran ibu lebih utama untuk menemani pada masa emas anak. Sedangkan ayah akan sangat berperan pada anak usia 7-15 tahun.

“Usia bersama ibu adalah ketika anak di usia 7-8 tahun, itu memang banyak peran ibu, menghaluskan dan sebagainya. Tapi ketika masa-masa bertanggung jawab dia bersosialisasi, di masa dia membutuhkan membuat keputusan, kebijakan, konsep diri yang kokoh, usia 8-15 tahun itu adalah usia ayah. Untuk itu para ayah ini harus mengerti usia-usia penting ini. Jangan sampai ada ayah mati gaya dan tidak punya satu statement atau tema untuk dibicarakan dengan anak,” bebernya.

Kendati begitu, bukan berarti peran ibu berhenti di usia tujuh tahun. Siti menekankan adanya keseimbangan peran dalam pola asuh. Sebab biasanya, masyarakat hanya membebankan tanggung jawab pengasuhan hanya pada perempuan, sedangkan ayah lebih fokus pada tugas mencari nafkah.

“Ibu adalah madrasah utama. Tapi saat-saat yang sangat penting bersama ayah ini harus hadir. Ketika ini tidak ada nanti muncul kepemimpinan yang kurang tegas, ragu-ragu, lamban kurang responsif, bingung. Dikhawatirkan begitu. Sementara Indonesia di masa yang akan datang sangat dibutuhkan kepemimpinan yang tentu saja tidak sama dengan yang hari ini,” imbuhnya.